Klenteng Chandra Nadi (Soei Goeat Kiong) Palembang atau lebih dikenal dengan Klenteng Dewi Kwan Im Palembang adalah satu dari beberapa kota di Indonesia yang memiliki akulturasi budaya lokal dengan budaya Tionghoa cukup kental.
Klenteng Dewi Kwan Im Palembang
Boleh dibilang klenteng Chandra Nadi (Soei Goeat Kiong) merupakan klenteng yang tertua di Palembang. Dibandingkan klenteng lainnya, klenteng Dewi Kwan Im lebih ramai didatangi. Berbagai prosesi ibadah masyarakat Tionghoa di Palembang digelar di sini.
Tidak hanya masyarakat kota Palembang, dari luar kota bahkan luar negeri pun beribadah disini, seperti dari Jambi, Pontianak, Taiwan, Hongkong, Singapura, Malaysia dan masih banyak lagi. Karena klenteng tertua, jadi banyak acara yang diselenggarakan disini.
Klenteng Dewi Kwan Im ini dibangun pada masa Kesultanan Palembang Darussalam dan Kolonial Belanda, pada 1733. Namun, Klenteng yang terletak di Kampung 10 Ulu ini merupakan pengganti dari klenteng yang terbakar di kawasan 7 Ulu.
Menurut sejarah, pembangunan klenteng kampung 10 Ulu karena di kampung tersebut terdapat makam seorang panglima Palembang keturunan Tionghoa bernama Ju Sin Kong atau biasa disebut Apek Tulong. Dia beragama Islam. Sebelum dijadikan klenteng, setiap orang berziarah ke situ mendapatkan keberkahan atau terbebas dari penyakit.
Memasuki halaman klenteng yang terletak di Jalan Perikanan, 10 Ulu, Palembang ini, disambut dengan aroma dupa (hio) wangi. Dupa yang dipercaya sebagai salah satu sarana sebagai penghubung ke Thien. Thien disebut “langit” atau sebagai Tuhan Yang Esa.
Melangkah masuk ke dalam, terdapat altar dewa, mulai dari altar Dewi Maco Po atau penguasa laut (juga disebut sebagai dewi yang menguasai setan dan iblis) dan altar Dewi Kwan Im atau penolong orang yang menderita sudah tersusun secara berurut.
Selain itu, ada altar Sakyamoni Buddha (Sidharta Buddha Gautama), altar Bodhisatva Maitreya (calon Buddha), altar Dewi Kwan Tee (pelindung dharma), altar Dewi Paw Sen Ta Tee atau dewi uang dan pemberi rezeki. Kemudian altar Dewi Chin Hua Niang Niang atau Dewi Mak Kun Do, altar Giam Lo Ong (raja neraka), dan altar Dewa Toa Pek Kong berbentuk macan.
Di bagian belakang klenteng terdapat satu altar yang berisi kumpulan berbagai patung titipan umat. Klenteng itu digunakan umat dari tiga agama dan kepercayaan untuk berdoa.Ketiga agama dan kepercayaan yang diakomodasi di klenteng ini adalah Buddha, Tao, dan Konghucu.
Dari sekian banyak altar di klenteng tersebut, bahkan Ju Sin Kong, sang pelindung Kota Palembang yang diyakini beragama Islam juga dibuatkan altar. Ju Sin Kong menjalankan (sholat) lima waktu dan meninggal disini. Dia sangat baik kepada umat di sini. Karena itu, dibuatkan altar untuk mengingat kebaikan-kebaikannya.
Klenteng Dewi Kwan In masih berdiri kokoh hingga sekarang tidak terlepas dari solidaritas dan kerukunan masyarakat di wilayah sekitar Klenteng. Pasca tahun 1966, sepertiga lahan klenteng diambil paksa untuk dijadikan Pasar 10 Ulu. Para pengurus klenteng tidak dapat berbuat apa-apa karena ada tekanan politik masa itu.
Ditambah lagi ketika terjadi kerusuhan nasional pada 1998. Massa tak dikenal berusaha membakar klenteng itu. Namun, polisi dan masyarakat setempat berhasil menghadang gerakan massa sehingga mereka tidak sempat membakar apa pun.
Klenteng Dewi Kwan In telah berumur 284 tahun dan menjadi saksi bisu perkembangan Palembang dan toleransi antar umat beragama di kota Palembang.
Klenteng Chandra Nadi (Soei Goeat Kiong) Palembang – Kanal Wisata